Blog tentang bahasa se-Indonesia
Rabu, 20 Maret 2013
Senin, 04 Februari 2013
Filosofi dan Mitologi seputar Keraton
Setiap nama bangunan maupun upacara, bentuk bangunan maupun benda-benda upacara, letak bangunan, begitu juga prosesi suatu upacara dalam keraton memiliki makna atau arti filosofi masing-masing. Namun sungguh disayangkan makna-makna tersebut sudah tidak banyak yang mengetahui dan kurang begitu mendapat perhatian. Beberapa diantaranya akan ditunjukkan dalam paragraf berikut.
Cermin besar di kanan dan kiri Kori Kemadungan mengadung makna introspeksi diri. Nama Kemandungan sendiri berasal dari kata mandung yang memiliki arti berhenti. Nama bangsal Marcukundha berasal dari kata Marcu yang berarti api dan kundho yang berarti wadah/tempat, sehingga Marcukundho melambangkan suatu doa/harapan. Menara Panggung Sangga Buwana adalah simbol Lingga dan Kori Sri Manganti di sebelah baratnya adalah simbol Yoni. Simbol Lingga-Yoni dalam masyarakat Jawa dipercaya sebagai suatu simbol kesuburan. Dalam upacara garebeg dikenal dengan adanya sedekah raja yang berupa gunungan. Gunungan tersebut melambangkan sedekah yang bergunung-gunung.
Selain itu keraton Surakarta juga memiliki mistik dan mitos serta legenda yang berkembang di tengah masyarakat. Seperti makna filosofi yang semakin lenyap, mistik dan mitos serta legenda inipun juga semakin menghilang. Sebagai salah satu contoh adalah kepercayaan sebagian masyarakat dalam memperebutkan gunungan saat garebeg. Mereka mempercayai bagian-bagian gunungan itu dapat mendatangkan tuah berupa keuangan yang baik maupun yang lainnya.
Selain itu ada legenda mengenai usia Nagari Surakarta. Ketika istana selesai dibangun muncul sebuah ramalan bahwa kerajaan Surakarta hanya akan berjaya selama dua ratus tahun. Setelah dua ratus tahun maka kekuasaan raja hanya akan selebar mekarnya sebuah payung (Jw: kari sak megare payung). Legenda inipun seakan mendapat pengesahan dengan kenyataan yang terjadi. Apabila dihitung dari penempatan istana secara resmi pada 1745/6 maka dua ratus tahun kemudian pada 1945 Indonesia merdeka kekuasaan Kesusnanan benar-benar merosot. Setahun kemudian pada 1946 Kesunanan Surakarta benar-benar dihapus dan kekuasaan Susuhunan benar-benar habis dan hanya tinggal atas kerabat dekatnya saja.
Pemangku Adat Jawa Surakarta
Semula keraton Surakarta merupakan Lembaga Istana (Imperial House) yang mengurusi raja dan keluarga kerajaan disamping menjadi pusat pemerintahan Kesunanan Surakarta. Setelah Kesunanan Surakarta dinyatakan hapus oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1946, peran keraton Surakarta tidak lebih sebagai Pemangku Adat Jawa khususnya garis/gaya Surakarta. Begitu pula Susuhunan tidak lagi berperan dalam urusan kenegaraan sebagai seorang raja dala artian politik melainkan sebagaiYang Dipertuan Pemangku Tahta Adat, pemimpin informal kebudayaan. Fungsi keraton pun berubah menjadi pelindung dan penjaga identitas budaya Jawa khususnya gaya Surakarta. Walaupun dengan fungsi yang terbatas pada sektor informal namun keraton Surakarta tetap memiliki kharisma tersendiri di lingkungan masyarakat Jawa khususnya di bekas daerah Kesunanan Surakarta. Selain itu keraton Surakarta juga memberikan gelar kebangsawanan kehormatan (honoriscausa) pada mereka yang mempunyai perhatian kepada budaya Jawa khususnya Surakarta disamping mereka yang berhak karena hubungan darah maupun karena posisi mereka sebagai pegawai (abdidalem) keraton.
Warisan Budaya
Selain memiliki kemegahan bangunan Keraton Surakarta juga memiliki suatu warisan budaya yang tak ternilai. Diantarannya adalah upacara-upacara adat, tari-tarian sakral, musik, dan pusaka. Upacara adat yang terkenal adalah upacara Garebeg, upacaraSekaten, dan upacara Malam Satu Suro. Upacara yang berasal dari zaman kerajaan ini hingga sekarang terus dilaksanakan dan merupakan warisan budaya Indonesia yang harus dilindungi.
Kompleks-kompleks Magangan, dan Sri Manganti, Kemandungan, serta Sitihinggil Kidul (Selatan)
Kompleks Magangan dahulunya digunakan oleh para calon pegawai kerajaan. Di tempat ini terdapat sebuah pendapa di tengah-tengah halaman. Dua kompleks berikutnya, Sri Manganti Kidul/Selatan dan Kemandungan Kidul/Selatan hanyalah berupa halaman yang digunakan saat upacara pemakaman raja maupun permaisuri. Kompleks terakhir, Sitihinggil kidul termasuk alun-alun kidul, memiliki sebuah bangunan kecil. Kini kompleks ini digunakan untuk memelihara pusaka keraton yang berupa kerbau albino yang disebut dengan Kyai Slamet.
Kompleks Kedhaton
Kori Sri Manganti menjadi pintu untuk memasuki kompleks Kedhaton dari utara. Pintu gerbang yang dibangun oleh Susuhunan Pakubuwono IV pada 1792 ini disebut juga dengan Kori Ageng. Bangunan ini memiliki kaitan erat dengan Pangung Sangga Buwana secara filosofis. Pintu yang memiliki gaya Semar Tinandu ini digunakan untuk menunggu tamu-tamu resmi kerajaan. Bagian kanan dan kiri pintu ini memiliki cermin dan sebuah ragam hias diatas pintu. Halaman Kedhaton dialasi dengan pasir hitam dari pantai selatan dan ditumbuhi oleh berbagai pohon langka antara lain 76 batang pohon Sawo Kecik (Manilkara kauki; Famili Sapotaceae). Selain itu halaman ini juga dihiasi dengan patung-patung bergaya eropa. Kompleks ini memiliki bangunan utama diantaranya adalah Sasana Sewaka, nDalem Ageng Prabasuyasa, Sasana Handrawina, dan Panggung Sangga Buwana.
Sasana Sewaka aslinya merupakan bangunan peninggalan pendapa istana Kartasura. Tempat ini pernah mengalami sebuah kebakaran pada tahun 1985. Di bangunan ini pula Susuhunan bertahta dalam upacara-upacara kebesaran kerajaan seperti garebeg dan ulang tahun raja. Di sebelah barat Sasana ini terdapat Sasana Parasdya, sebuah peringgitan. Di sebelah barat Sasana Parasdya terdapat nDalem Ageng Prabasuyasa. Tempat ini merupakan bangunan inti dan terpenting dari seluruh Keraton Surakarta Hadiningrat. Di tempat inilah disemayamkan pusaka-pusaka dan juga tahta raja yang menjadi simbol kerajaan. Di lokasi ini pula seorang raja bersumpah ketika mulai bertahta sebelum upacara pemahkotaan dihadapan khalayak di Sitihinggil utara.
Bangunan berikutnya adalah Sasana Handrawina. Tempat ini digunakan sebagai tempat perjamuan makan resmi kerajaan. Kini bangunan ini biasa digunakan sebagi tempat seminar maupun gala dinner tamu asing yang datang ke kota Solo. Bangunan utama lainnya adalah Panggung Sangga Buwana. Menara ini digunakan sebagai tempat meditasi Susuhunan sekaligus untuk mengawasi benteng VOC/Hindia Belanda yang berada tidak jauh dari istana. Bangunan yang memiliki lima lantai ini juga digunakan untuk melihat posisi bulan untuk menentukan awal suatu bulan. Di puncak atap teratas terdapat ornamen yang melambangkan tahun dibangunnya menara tertua di kota Surakarta.
Sebelah barat kompleks Kedhaton merupakan tempat tertutup bagi masyarakat umum dan terlarang untuk dipublikasikan sehingga tidak banyak yang mengetahui kepastian sesungguhnya. Kawasan ini merupakan tempat tinggal resmi raja dan keluarga kerajaan yang masih digunakan hingga sekarang.
Kompleks Sri Manganti
Untuk memasuki kompleks ini dari sisi utara harus melalui sebuah pintu gerbang yang disebut denganKori Kamandungan. Di depan sisi kanan dan kiri gerbang yang bernuansa warna biru dan putih ini terdapat dua arca. Di sisi kanan dan kiri pintu besar ini terdapat cermin besar dan diatasnya terdapat suatu hiasan yang terdiri dari senjata dan bendera yang ditengahnya terdapat lambang kerajaan. Hiasan ini disebut dengan Bendero Gulo Klopo. Di halaman Sri Manganti terdapat dua bangunan utama yaitu Bangsal Smarakatha disebelah barat dan Bangsal Marcukundha di sebelah timur.
Pada zamannya Bangsal Smarakatha digunakan untuk menghadap para pegawai menengah ke atas dengan pangkat Bupati Lebet ke atas. Tempat ini pula menjadi tempat penerimaan kenaikan pangkat para pejabat senior. Sekarang tempat ini digunakan untuk latihan menari dan mendalang. Bangsal Marcukundha pada zamannya digunakan untuk menghadap para opsir prajurit, untuk kenaikan pangkat pegawai dan pejabat yunior, serta tempat untuk menjatuhkan vonis hukuman bagi kerabat raja. Sekarang tempat ini untuk menyimpan Krobongan Madirenggo, sebuah tempat untuk upacara sunat/kitan para putra Susuhunan.
Di sisi barat daya Bangsal Marcukundha terdapat sebuah menara bersegi delapan yang disebut dengan Panggung Sangga Buwana. Menara yang memiliki tinggi sekitar tiga puluhan meter ini sebenarnya terletak di dua halaman sekaligus, halaman Sri Manganti dan halaman Kedhaton. Namun demikian pintu utamanya terletak di halaman Kedhaton.
Langganan:
Postingan (Atom)