Sabtu, 14 Mei 2011

Peribahasa Jawa

A

  • "Adhang-adhang tètèsé embun."
  • "Adigang,adigung,adiguna." merasa paling kuat, merasa paling agung, merasa paling penting
  • "Aja dumeh wong gedhe." jangan mentang-mentang jadi pembesar
  • "Aji godhong garing."
  • "Ajining diri dumunung ana ing lathi, ajining raga ana ing busana." Nilai diri terletak di mulut, nilai fisik terletak pada pakaian
  • "Alon-alon waton kelakon." pelan-pelan saja asal berhasil
  • "Ambeg parama arta."
  • "Anak polah bapa kepradah." Tingkah polah anak, orang tua ikut menanggung akibatnya
  • "Ana catur munkur." Ada nasehat selalu dihindari
  • "Angon mangsa."
  • "Asu gedhe menang kerahe." Pangkat tinggi, pasti lebih menang dalam berperkara
  • "Asu rebutan balung." Berdebat hal yang sepele tak ada yang mau mengalah
  • "Ati béngkong olèh oncong."
  • "Air beriak tanda tak dalam." Orang banyak bicara tanda ilmunya tak dalam
  • "Air terpercik muka didulang."
  • "Adigang Adidung Adiguno Adiwacara." menyombongkan apa pun yang dimilikinya

 B

  • "Becik ketitik ala ketara." Berbuat baik maupun buruk akhirnya akan terlihat juga
  • "Bibit, bebet, bobot." Keturunan, harta, bobot/mutu
  • "Berat sama dipikul ringan sama dijinjing." Enak enggak enak ditanggung bersama
  • "Buah jatuh tak jauh dari pohonnya." Sifat anak tak jauh dari sifat orang tua
  • "Bandha titipan, nyawa gadhuhan, pangkat sampiran."

C

  • "crah agawe bubrah". bercerai kita runtuh
  • "criwas cawis"

D

  • "Diwehi ati ngrogoh rempela". Diberi kebaikan, menunt pemberian lebih
  • "Dhemit ora ndulit, setan ora doyan". Lepas dari mara bahaya
  • "Dhuwur wekasane, endhek wiwitane". akhirnya mulia, yang semula sederhana
  • "Diobong gak kobong, disiram gak teles". sakti, ditekan, dihina, disia siakan tetapi tetap sukses

 E

Entèk Amèk Kurang Golèk berlebih-lebih

 G

  • "Gupak Pulut ora mangan nangkane." capek pekerjaan nggak dapet hasilnya
  • "Gusti Allah ora sare." Tuhan tak pernah tidur" (jadi segala perbuatan kita dan semua yang terjadi di dunia ini tak pernah luput dari pengamatan Yang Maha Kuasa)
  • "Galing kangkung isine bumbung wang tapake manuk mabur."

 I

  • "Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri andayani." Didepan menjadi contoh, ditengah membimbing, dibelakang mendukung

 J

  • "Jamur ing mangsa katiga."
  • "Jer basuki mawa beya."
  • "Jalukan ora wewehan."

 K

  • "Kakehan gludhug, kurang udan" banyak bicara tanpa kenyataan - talk more do less.
  • "Kebo kabotan sungu." orang yang kelebihan beban
  • "Kebo nusu gudel." orang tua yang nurut anaknya
  • "Kegedhen empyak kurang cagak" banyak pengeluaran kurang penghasilan
  • "Krido lumahing asto." MENGEMIS
  • "Kutuk marani sunduk." Mendekati mara bahaya
  • "Kaya banyu karo lenga." Tidak pernah rukun

M

  • "Manunggaling kawula gusti." RAKYAT DAN PENGUASA BERSATU
  • "Mikul dhuwur, mendhem jero." MENJUNJUNG TINGGI KEBAIKAN ORANG TUA DAN MERAHASIAKAN SEMUA KEBURUKANNYA
  • "Mulat sarira angrasa wani, rumangsa melu andarbeni, wajib melu angrukebi."
  • "Mangan ora mangan ngumpul." TETAP BERSATU WALAUPUN DALAM KEMISKINAN
  • "Mati siji mati kabeh."
  • "Mimi lan mintuno."
  • "Memayu hayuning bawana."

 N

  • "Nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake."Menyerang tanpa membawa pasukan, menang tanpa merendahkan lawan yang sudah dikalahkan."
  • "Ngrusak pager ayu."
  • "Nguyahi banyu segara."Melakukan hal yang sia-sia."
  • "Nabok nyilih tangan."Memanfaatkan orang untuk melakukan sesuatu."
  • "Ngono ya ngono ning aja ngono."Kita boleh saja berperilaku sekehendak kita, tetapi jangan sampai berlebihan."

 O

  • Obah mamah, ana dina ana upa
  • Ora ganja ora unus
  • "Ojo Rumongso Biso, Nanging Kudu Biso Rumongso"

 P

  • "pager mangan tandhuran."

 R

  • "Rawe-rawe rantas malang-malang putung."
  • "Rukun agawe santosa." bersatu kita teguh

 S

  • "Sadawa-dawane lurung."
  • "Sadumuk bathuk senyari bumi."
  • "Sapa salah seleh."
  • "Sapa sira sapa ingsun."(Indonesia: "siapa Anda, siapa saya") - janganlah menggurui atau memerintah seseorang tanpa mengetahui tempatnya sendiri.
  • "Sepi ing pamrih rame ing gawe"
  • "Sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake."
  • "Sura dira jayaningrat lebur dening pangestuti."
  • "Srigala berbulu domba."
  • "surga manut neroko katut."kehidupan kelak seorang istri ditentukan dari baik-buruknya agama suaminya"

 T

  • "Tamba teka, lara lunga"
  • "Tut Wuri Handayani"
  • "Tong kosong berbunyi nyaring"
  • "Tuna satak bathi sanak"
  • "seteng dadi gendting, sawu dadi awu"

 U

  • "Ubaya saksi."
  • "Ubut saksi."
  • "Udan gemblong omahe wong, udan gaplek omahe dhewe, meksa luwih becik ing omahe dhewe."
  • "Ulah semu."
  • "Ujaring wong pepasaran."
  • "Ula marani gebug."
  • "Ulangan cumbon."
  • "Ulat madhep ati arep."
  • "Ula-ula dawa."
  • "Undhaking pawarta sudaning kiriman."
  • "Undhaking pawarta sudaning titipan."
  • "Undha usuk."
  • "Ungak-ungak pager arang."
  • "Unjal angempan."
  • "Upaya prabeda."
  • "Upaya saksi."
  • "Urik klelet candu tike."
  • "Urun rembug."
  • "Urun wudhu."
  • "Usung-usung lumbung."
  • "Utange nurut wulu."
  • "Utang lara nyaur lara, utang pati nyaur pati."
  • "Utang nyaur, nyilih ambalekake."
  • "Uwot gedebog."
  • "Uyah kecemplung segara."

 W

  • "Witing tresna jalaran saka kulina." dapat jatuh cinta, dikarenakan terbiasa besama
  • "Wani silit, wedi rai." ia hanya berani jika orang yang di anggap musuh sedang tidak ada
  • "Wani ngalah, luhur wekasane." terkadang mengalah itu lebih baik, untuk kepentingan bersama
  • "wiro yudho wicaksono" satria yang berani berperang membela kebenaran dengan didasari kebijaksanaan

 Y

  • Yen wedi aja wani-wani, yen wani aja wedi-wedi " Jadi orang harus tegas, jangan ragu-ragu

Bahasa Jawa

Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan penduduk suku bangsa Jawa di Jawa Tengah,Yogyakarta & Jawa Timur. Selain itu, Bahasa Jawa juga digunakan oleh penduduk yang tinggal beberapa daerah lain seperti di Banten terutama kota Serang, kabupaten Serang, kota Cilegon dan kabupaten Tangerang, Jawa Barat khususnya kawasan Pantai utara terbentang dari pesisir utara Karawang, Subang, Indramayu, kota Cirebon dan kabupaten Cirebon.



Penyebaran Bahasa Jawa

Penduduk Jawa yang merantau, membuat bahasa Jawa bisa ditemukan di berbagai daerah bahkan di luar negeri. Banyaknya orang Jawa yang merantau ke Malaysia turut membawa bahasa dan kebudayaan Jawa ke Malaysia, sehingga terdapat kawasan pemukiman mereka yang dikenal dengan nama kampung Jawa, padang Jawa. Di samping itu, masyarakat pengguna Bahasa Jawa juga tersebar di berbagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kawasan-kawasan luar Jawa yang didominasi etnis Jawa atau dalam persentase yang cukup signifikan adalah : Lampung (61,9%), Sumatra Utara (32,6%), Jambi (27,6%), Sumatera Selatan (27%). Khusus masyarakat Jawa di Sumatra Utara, mereka merupakan keturunan para kuli kontrak yang dipekerjakan di berbagai wilayah perkebunan tembakau, khususnya di wilayah Deli sehingga kerap disebut sebagai Jawa Deli atau Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera). Sedangkan masyarakat Jawa di daerah lain disebarkan melalui program transmigrasi yang diselenggarakan semenjak zaman penjajahan Belanda.
Selain di kawasan Nusantara, masyarakat Jawa juga ditemukan dalam jumlah besar di Suriname, yang mencapai 15% dari penduduk secara keseluruhan, kemudian di Kaledonia Baru bahkan sampai kawasan Aruba dan Curacao serta Belanda. Sebagian kecil bahkan menyebar ke wilayah Guyana Perancis dan Venezuela. Pengiriman tenaga kerja ke Korea, Hong Kong, serta beberapa negara Timur Tengah juga memperluas wilayah sebar pengguna bahasa ini meskipun belum bisa dipastikan kelestariannya.

 Fonologi

Dialek baku bahasa Jawa, yaitu yang didasarkan pada dialek Jawa Tengah, terutama dari sekitar kota Surakarta dan Yogyakarta memiliki fonem-fonem berikut:
Vokal:
Depan Tengah Belakang
i     u
e ə o
(ɛ) (ɔ)
a
Konsonan:

Labial Dental Alveolar Retrofleks Palatal Velar Glotal
Letupan p b t d
ʈ ɖ k g ʔ
Frikatif s (ʂ) h
Likuida & semivokal w l r j
Sengau m n
(ɳ) ɲ ŋ
Perhatian: Fonem-fonem antara tanda kurung merupakan alofon. Catatan pembaca pakar bahasa Jawa: Dalam bahasa Jawa [a],[ɔ], dan [o] itu membedakan makna [baba?] 'luka'; [bɔbɔ?]'param' atau 'lobang', sikile di-bɔbɔ?i 'kakinya diberi param', lawange dibɔbɔ?i 'pintunya dilubangi'; dan [bobo?] 'tidur'. [warɔ?] 'rakus' sedang [wara?] 'badak'; [lɔr] 'utara' sedangkan [lar] 'sayap', [gəɖɔŋ?] 'gedung' sedangkan [gəɖaŋ?] 'pisang; [cɔrɔ]'cara' sedang [coro] 'kecoak', [lɔrɔ]'sakit' sedang [loro] 'dua', dan [pɔlɔ] 'pala/rempah-rempah' sedang [polo] 'otak'. Dengan demikian, bunyi [ɔ] itu bukan alofon [a] ataupun alofon [o] melainkan fonem tersendiri.

Sugengrawuh atau "Selamat datang" yang ditulis menggunakan aksara Jawa

Penjelasan Vokal:

Tekanan kata (stress) direalisasikan pada suku kata kedua dari belakang, kecuali apabila sukukata memiliki sebuah pepet sebagai vokal. Pada kasus seperti ini, tekanan kata jatuh pada sukukata terakhir, meskipun sukukata terakhir juga memuat pepet. Apabila sebuah kata sudah diimbuhi dengan afiks, tekanan kata tetap mengikuti tekanan kata kata dasar. Contoh: /jaran/ (kuda) dilafazkan sebagai [j'aran] dan /pajaranan/ (tempat kuda) dilafazkan sebagai [paj'aranan].
Semua vokal kecuali /ə/, memiliki alofon. Fonem /a/ pada posisi tertutup dilafazkan sebagai [a], namun pada posisi terbuka sebagai [ɔ]. Contoh: /lara/ (sakit) dilafazkan sebagai [l'ɔrɔ], tetapi /larane/ (sakitnya) dilafazkan sebagai [l'arane]
Fonem /i/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [i] namun pada posisi tertutup lafaznya kurang lebih mirip [e]. Contoh: /panci/ dilafazkan sebagai [p'aɲci] , tetapi /kancil/ kurang lebih dilafazkan sebagai [k'aɲcel].
Fonem /u/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [u] namun pada posisi tertutup lafaznya kurang lebih mirip [o]. Contoh: /wulu/ (bulu) dilafazkan sebagai [w'ulu] , tetapi /ʈuyul/ (tuyul) kurang lebih dilafazkan sebagai [ʈ'uyol].
Fonem /e/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [e] namun pada posisi tertutup sebagai [ɛ]. Contoh: /lele/ dilafazkan sebagai [l'ele] , tetapi /bebek/ dilafazkan sebagai [b'ɛbɛʔ].
Fonem /o/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [o] namun pada posisi tertutup sebagai [ɔ]. Contoh: /loro/ dilafazkan sebagai [l'oro] , tetapi /boloŋ/ dilafazkan sebagai [b'ɔlɔŋ].

 Penjelasan Konsonan:

Fonem /k/ memiliki sebuah alofon. Pada posisi terakhir, dilafazkan sebagai [ʔ]. Sedangkan pada posisi tengah dan awal tetap sebagai [k].
Fonem /n/ memiliki dua alofon. Pada posisi awal atau tengah apabila berada di depan fonem eksplosiva palatal atau retrofleks, maka fonem sengau ini akan berubah sesuai menjadi fonem homorgan. Kemudian apabila fonem /n/ mengikuti sebuah /r/, maka akan menjadi [ɳ] (fonem sengau retrofleks). Contoh: /panjaŋ/ dilafazkan sebagai [p'aɲjaŋ], lalu /anɖap/ dilafazkan sebagai [ʔ'aɳɖap]. Kata /warna/ dilafazkan sebagai [w'arɳɔ].
Fonem /s/ memiliki satu alofon. Apabila /s/ mengikuti fonem /r/ atau berada di depan fonem eksplosiva retrofleks, maka akan direalisasikan sebagai [ʂ]. Contoh: /warsa/ dilafazkan sebagai [w'arʂɔ], lalu /esʈi/ dilafazkan sebagai [ʔ'eʂʈi].

Fonotaktik

Dalam bahasa Jawa baku, sebuah sukukata bisa memiliki bentuk seperti berikut: (n)-K1-(l)-V-K2.
Artinya ialah Sebagai berikut:
  • (n) adalah fonem sengau homorgan.
  • K1 adalah konsonan eksplosiva ata likuida.
  • (l) adalah likuida yaitu /r/ atau /l/, namun hanya bisa muncul kalau K1 berbentuk eksplosiva.
  • V adalah semua vokal. Tetapi apabila K2 tidak ada maka fonem /ə/ tidak bisa berada pada posisi ini.
  • K2 adalah semua konsonan kecuali eksplosiva palatal dan retrofleks; /c/, /j/, /ʈ/, dan /ɖ/.
Contoh:
  • a
  • an
  • pan
  • prang
  • njlen

 Tata Bahasa

 Variasi dalam bahasa Jawa

Klasifikasi berdasarkan dialek geografi mengacu kepada pendapat E.M. Uhlenbeck (1964) . Peneliti lain seperti W.J.S. Poerwadarminta dan Hatley memiliki pendapat yang berbeda
Kelompok Barat
  1. dialek Banten
  2. dialek Cirebon. Menurut hasil Penelitian yang dilakukan dengan menggunakan Metode Guiter, Bahasa Cirebonan memiliki Perbedaan sekitar 75% dengan Bahasa Jawa Yogya / Surakarta
  3. dialek Tegal
  4. dialek Banyumasan
  5. dialek Bumiayu (peralihan Tegal dan Banyumas)
Tiga dialek terakhir biasa disebut Dialek Banyumasan.
Kelompok Tengah
  1. dialek Pekalongan
  2. dialek Kedu
  3. dialek Bagelen
  4. dialek Semarang
  5. dialek Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati)
  6. dialek Blora
  7. dialek Surakarta
  8. dialek Yogyakarta
  9. dialek Madiun
Kelompok kedua ini dikenal sebagai bahasa Jawa Tengahan atau Mataraman. Dialek Surakarta dan Yogyakarta menjadi acuan baku bagi pemakaian resmi bahasa Jawa (bahasa Jawa Baku).
Kelompok Timur
  1. dialek Pantura Jawa Timur (Tuban, Bojonegoro)
  2. dialek Surabaya
  3. dialek Malang
  4. dialek Jombang
  5. dialek Tengger
  6. dialek Banyuwangi (atau disebut Bahasa Osing)
Kelompok ketiga ini dikenal sebagai bahasa Jawa Wetanan (Timur).

 Register (undhak-undhuk basa)

Bahasa Jawa mengenal undhak-undhuk basa dan menjadi bagian integral dalam tata krama (etiket) masyarakat Jawa dalam berbahasa. Dialek Surakarta biasanya menjadi rujukan dalam hal ini. Bahasa Jawa bukan satu-satunya bahasa yang mengenal hal ini karena beberapa bahasa Austronesia lain dan bahasa-bahasa Asia Timur seperti bahasa Korea dan bahasa Jepang juga mengenal hal semacam ini. Dalam sosiolinguistik, undhak-undhuk merupakan salah satu bentuk register.
Terdapat tiga bentuk utama variasi, yaitu ngoko ("kasar"), madya ("biasa"), dan krama ("halus"). Di antara masing-masing bentuk ini terdapat bentuk "penghormatan" (ngajengake, honorific) dan "perendahan" (ngasorake, humilific). Seseorang dapat berubah-ubah registernya pada suatu saat tergantung status yang bersangkutan dan lawan bicara. Status bisa ditentukan oleh usia, posisi sosial, atau hal-hal lain. Seorang anak yang bercakap-cakap dengan sebayanya akan berbicara dengan varian ngoko, namun ketika bercakap dengan orang tuanya akan menggunakan krama andhap dan krama inggil. Sistem semacam ini terutama dipakai di Surakarta, Yogyakarta, dan Madiun. Dialek lainnya cenderung kurang memegang erat tata-tertib berbahasa semacam ini.
Sebagai tambahan, terdapat bentuk bagongan dan kedhaton, yang keduanya hanya dipakai sebagai bahasa pengantar di lingkungan keraton. Dengan demikian, dikenal bentuk-bentuk ngoko lugu, ngoko andhap, madhya, madhyantara, krama, krama inggil, bagongan, kedhaton.
Di bawah ini disajikan contoh sebuah kalimat dalam beberapa gaya bahasa yang berbeda-beda ini.
  • Bahasa Indonesia: "Maaf, saya mau tanya rumah Kak Budi itu, di mana?"
  1. Ngoko kasar: “Eh, aku arep takon, omahé Budi kuwi, nèng*ndi?’
  2. Ngoko alus: “Aku nyuwun pirsa, dalemé mas Budi kuwi, nèng endi?”
  3. Ngoko meninggikan diri sendiri: “Aku kersa ndangu, omahé mas Budi kuwi, nèng ndi?” (ini dianggap salah oleh sebagian besar penutur bahasa Jawa karena menggunakan leksikon krama inggil untuk diri sendiri)
  4. Madya: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, griyané mas Budi niku, teng pundi?” (ini krama desa (substandar))
  5. Madya alus: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, dalemé mas Budi niku, teng pundi?” (ini juga termasuk krama desa (krama substandar))
  6. Krama andhap: “Nuwun sèwu, dalem badhé nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?” (dalem itu sebenarnya pronomina persona kedua, kagungan dalem 'kepunyaanmu'. Jadi ini termasuk tuturan krama yang salah alias krama desa)
  7. Krama lugu: “Nuwun sewu, kula badhé takèn, griyanipun mas Budi punika, wonten pundi?”
  8. Krama alus “Nuwun sewu, kula badhe nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?”
*nèng adalah bentuk percakapan sehari-hari dan merupakan kependekan dari bentuk baku ana ing yang disingkat menjadi (a)nêng.
Dengan memakai kata-kata yang berbeda dalam sebuah kalimat yang secara tatabahasa berarti sama, seseorang bisa mengungkapkan status sosialnya terhadap lawan bicaranya dan juga terhadap yang dibicarakan. Walaupun demikian, tidak semua penutur bahasa Jawa mengenal semuanya register itu. Biasanya mereka hanya mengenal ngoko dan sejenis madya.

 Bilangan dalam bahasa Jawa

Bila dibandingkan dengan bahasa Melayu atau Indonesia, bahasa Jawa memiliki sistem bilangan yang agak rumit.
Bahasa 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kuna sa rwa telu pat lima enem pitu walu sanga sapuluh
Kawi eka dwi tri catur panca sad sapta asta nawa dasa
Krama setunggal kalih tiga sekawan gangsal enem pitu wolu sanga sedasa
Ngoko siji loro telu papat lima enem pitu wolu sanga sepuluh
Angka Ngoko Krama
11 sewelas setunggal welas (sewelas)
12 rolas kalih welas
13 telulas tiga welas
14 patbelas sekawan welashttp://www.blogger.com/post-create.g?blogID=403582571081863977
15 limalas gangsal welas
16 nembelas enem welas
17 pitulas pitulas
18 wolulas wolulas
19 sangalas sangalas
20 rong puluh kalih dasa
21 selikur selikur/kalih dasa setunggal
22 rolikur kalih likur
23 telulikur tigang likur
24 patlikur sekawan likur
25 selawé selangkung
26 nemlikur nemlikur
30 telung puluh tigang dasa
31 telung puluh siji tigang dasa setunggal
32 telung puluh loro tigang dasa kalih
40 patang puluh sekawan dasa
41 patang puluh siji sekawan dasa setunggal
42 patang puluh loro sekawan dasa kalih
50 sèket sèket
51 sèket siji sèket setunggal
52 sèket loro sèket kalih
60 swidak swidak
61 swidak siji swidak setunggal
62 swidak loro swidak kalih
70 pitung puluh pitu dasa
80 wolung puluh wolu dasa
90 sangang puluh sanga dasa
100 satus setunggal atus
101 satus siji setunggal atus setunggal
102 satus loro setunggal atus kalih
120 satus rong puluh setunggal atus kalih dasa
121 satus selikur setunggal atus kalih dasa setunggal
200 rong atus kalih atus
500 limang atus gangsal atus
1.000 sèwu setunggal èwu
1.001 sèwu siji setunggal èwu setunggal
1.002 sèwu loro setunggal èwu kalih
1.500 sèwu limang atus setunggal èwu gangsal atus
1.520 sèwu limang atus rong puluh setunggal èwu gangsal atus kalih dasa
1.550 sèwu limang atus sèket setunggal èwu gangsal atus sèket
1.551 sèwu limang atus sèket siji setunggal èwu gangsal atus sèket setunggal
2.000 rong èwu kalih èwu
5.000 limang èwu gangsal èwu
10.000 sepuluh èwu sedasa èwu
100.000 satus èwu setunggal atus èwu
500.000 limang atus èwu gangsal atus èwu
1.000.000 sayuta setunggal yuta
1.562.155 sayuta limang atus swidak loro èwu satus sèket lima setunggal yuta gangsal atus swidak kalih èwu setunggal atus sèket gangsal

Jawa

Jawa adalah sebuah pulau di Indonesia dengan penduduk 136 juta, pulau ini merupakan pulau berpenduduk terpadat di dunia dan merupakan salah satu wilayah berpenduduk terpadat di dunia. Pulau ini dihuni oleh 60% penduduk Indonesia. Ibu kota Indonesia, Jakarta, terletak di Jawa bagian barat. Banyak catatan sejarah Indonesia bertempat di Jawa, dahulu Jawa merupakan pusat kerajaan-kerajaan Hindu-Budha, Kesultanan Islam, Jantung Hindia Belanda Timur kolonial, dan merupakan pusat kampanye kemerdekaan Indonesia. Pulau ini mendominasi kehidupan sosial, politik, dan ekonomi bangsa Indonesia.
Jawa terbentuk oleh peristiwa-peristiwa vulkanik, Jawa merupakan pulau ketiga belas terbesar di dunia dan terbesar kelima di Indonesia. Rantai gunung-gunung vulkanik membentuk tulang belakang yang terbentang sepanjang timur hingga barat pulau ini. Jawa menggunakan tiga bahasa utama, meskipun bahasa Jawa dominan dan merupakan bahasa asli dari 60 juta penduduk di Indonesia, jumlah terbesar yang mendiami Jawa. Sebagian besar dari mereka memahami dua bahasa, bahasa Indonesia baik sebagai bahasa pertama maupun ke dua. Sementara itu sebagian besar masyarakat Jawa adalah Muslim, Jawa memiliki percampuran beragam kepercayaan-kepercayaan religius, kesukuan dan budaya.
Pulau ini dibagi menjadi empat provinsi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten, serta dua wilayah khusus, Jakarta dan Yogyakarta.

 


Etimologi

Asal mula nama 'Jawa' tidak jelas. Salah satu kemungkinan adalah nama pulau ini berasal dari tanaman jáwa-wut, yang banyak ditemukan di pulau ini pada masa purbakala, sebelum masuknya pengaruh India pulau ini mungkin memiliki banyak nama. Ada pula dugaan bahwa pulau ini berasal dari kata jaú yang berarti "jauh". Dalam bahasa Sansekerta yava berarti tanaman jelai, sebuah tanaman yang membuat pulau ini terkenal. "Yawadvipa" disebut dalam epik India Ramayana. Sugriwa, panglima bangsa wanara (kera) pasukan Rama mengirimkan utusannya ke Yawadvipa (pulau Jawa), untuk mencari Shinta. Kemudian berdasarkan kesusastraan India terutama pustaka Tamil, disebut dengan nama Sansekerta "yāvaka dvīpa" (dvīpa = pulau). Sumber lain mengajukan dugaan bahwa kata "Jawa" berasal dari akar kata dalam bahasa Proto-Austronesia, yang berarti 'rumah'.

 Sejarah

 Geografi

 Kota besar

Java Transportation Network id.svg
Berikut 10 kota besar di Jawa berdasarkan jumlah populasi tahun 2005
Urutan Kota, Provinsi Populasi
1 Jakarta, DKI Jakarta 8,839,247
2 Surabaya, Jawa Timur 2,611,506
3 Bandung, Jawa Barat 2,280,570
4 Bekasi, Jawa Barat 1,993,478
5 Tangerang, Banten 1,451,595
6 Semarang, Jawa Tengah 1,438,733
7 Depok, Jawa Barat 1,374,903
8 Bogor, Jawa Barat 891,467
9 Malang, Jawa Timur 790,356
10 Surakarta, Jawa Tengah 506,397

 Demografi



Penduduk pulau Jawa
Dengan populasi sebesar 136 juta jiwa Pulau Jawa adalah yang menjadi tempat tinggal lebih dari 57% populasi Indonesia. Dengan kepadatan 1.029 jiwa/km², pulau ini juga menjadi salah satu pulau di dunia yang paling dipadati penduduk. Sekitar 45% penduduk Indonesia berasal dari etnis Jawa. Walaupun demikian sepertiga bagian barat pulau ini (Jawa Barat, Banten, dan Jakarta) memiliki kepadatan penduduk lebih dari 1.400 jiwa/km2.
Sejak tahun 1970-an hingga kejatuhan Suharto pada tahun 1998, pemerintah Indonesia melakukan program transmigrasi untuk memindahkan sebagian penduduk Jawa ke pulau-pulau lain di Indonesia yang lebih luas. Program ini terkadang berhasil, namun terkadang menghasilkan konflik antara pendatang dari Jawa dengan populasi penduduk setempat.

Sabtu, 23 April 2011

aksara jawa dan pasangannya


Hanacaraka atau dikenal dengan nama carakan atau cacarakan (bahasa Sunda) adalah aksara turunan aksara Brahmi yang digunakan atau pernah digunakan untuk penulisan naskah-naskah berbahasa Jawa, bahasa Makasar, bahasa Madura, bahasa Melayu (, bahasa Sunda, bahasa Bali dan bahasa Sasak
Bentuk hanacaraka yang sekarang dipakai (modern) sudah tetap sejak masa Kesultanan Mataram (abad ke-17) tetapi bentuk cetaknya baru muncul pada abad ke-19. Aksara ini adalah modifikasi dari aksara Kawi dan merupakan abugida. Hal ini bisa dilihat dengan struktur masing-masing huruf yang paling tidak mewakili dua buah huruf (aksara) dalam huruf latin. Sebagai contoh aksara Ha yang mewakili dua huruf yakni H dan A, dan merupakan satu suku kata yang utuh bila dibandingkan dengan kata "hari". Aksara Na yang mewakili dua huruf, yakni N dan A, dan merupakan satu suku kata yang utuh bila dibandingkan dengan kata "nabi". Dengan demikian, terdapat penyingkatan cacah huruf dalam suatu penulisan kata apabila dibandingkan dengan penulisan aksara Latin.

KLASIFIKASI

Prasasti modern dengan aksara Latin(bahasa Portugis) dan aksara Hanacaraka/Jawa modern (bahasa Jawa). Prasasti dibuat untuk memperingati pemugaran Taman Sari di komplek Kraton Yogyakarta.
Aksara Jawa Hanacaraka termasuk ke dalam kelompok turunan aksara Brahmi, sebagaimana semua aksara Nusantara lainnya. Aksara ini memiliki kedekatan dengan aksara Bali. Aksara Brahmi sendiri merupakan turunan dari aksara Assyiria.

KELOMPOK AKSARA

Pada bentuknya yang asli, aksara Jawa Hanacaraka ditulis menggantung (di bawah garis), seperti aksara Hindi. Namun demikian, pengajaran modern sekarang menuliskannya di atas garis.
Aksara hanacaraka Jawa memiliki 20 huruf dasar, 20 huruf pasangan yang berfungsi menutup bunyi vokal, 8 huruf "utama" (aksara murda, ada yang tidak berpasangan), 8 pasangan huruf utama, lima aksara swara (huruf vokal depan), lima aksara rekan dan lima pasangannya, beberapa sandhangansebagai pengatur vokal, beberapa huruf khusus, beberapa tanda baca, dan beberapa tanda pengatur tata penulisan (pada).

Huruf dasar (aksara nglegena)

Pada aksara Jawa hanacaraka baku terdapat 20 huruf dasar (aksara nglegena), yang biasa diurutkan menjadi suatu "cerita pendek":
Aksara nglegena
Javanese script - Ha.png
Ha
Javanese script - Na.png
Na
Javanese script - Ca.png
Ca
Javanese script - Ra.png
Ra
Javanese script - Ka.png
Ka
Javanese script - Da.png
Da
Javanese script - Ta.png
Ta
Javanese script - Sa.png
Sa
Javanese script - Wa.png
Wa
Javanese script - La.png
La
Javanese script - Pa.png
Pa
Javanese script - Dha.png
Dha
Javanese script - Ja.png
Ja
Javanese script - Ya.png
Ya
Javanese script - Nya.png
Nya
Javanese script - Ma.png
Ma
Javanese script - Ga.png
Ga
Javanese script - Ba.png
Ba
Javanese script - Tha.png
Tha
Javanese script - Nga.png
Nga


Huruf pasangan (Aksara pasangan)

Pasangan dipakai untuk menekan vokal konsonan di depannya. Sebagai contoh, untuk menuliskan mangan sega (makan nasi) akan diperlukan pasangan untuk "se" agar "n" pada mangan tidak bersuara. Tanpa pasangan "s" tulisan akan terbaca manganasega (makanlah nasi).
Tatacara penulisan Jawa Hanacaraka tidak mengenal spasi, sehingga penggunaan pasangan dapat memperjelas kluster kata.
Berikut ini adalah daftar pasangan:
Aksara pasangan
Pasangan Ha.png
Ha
Pasangan Na.png
Na
Pasangan Ca.png
Ca
Pasangan Ra.png
Ra
Pasangan Ka.png
Ka
Pasangan Da.png
Da
Pasangan Ta.png
Ta
Pasangan Sa.png
Sa
Pasangan Wa.png
Wa
Pasangan La.png
La
Pasangan Pa.png
Pa
Pasangan Dha.png
Dha
Pasangan Ja.png
Ja
Pasangan Ya.png
Ya
Pasangan Nya.png
Nya
Pasangan Ma.png
Ma
Pasangan Ga.png
Ga
Pasangan Ba.png
Ba
Pasangan Tha.png
Tha
Pasangan Nga.png
Nga


Huruf utama (aksara murda)

Pada aksara hanacaraka memiliki bentuk murda (hampir setara dengan huruf kapital) yang seringkali digunakan untuk menuliskan kata-kata yang menunjukkan nama gelar, nama diri, nama geografi, nama lembaga pemerintah, dan nama lembaga berbadan (Kata-kata dalam Bahasa Indonesia yang menunjukkan hal-hal diatas biasanya diawali dengan huruf besar atau kapital. Untuk itulah pada perangkat lunak ini kita gunakan huruf kapital untuk menuliskan aksara murda atau pasangannya)
Berikut ini adalah aksara murda serta pasangan murda:

Aksara murda
Javanese script - Na (M).png
Na murda
Javanese script - Ka (M).png
Ka murda
Javanese script - Ta (M).png
Ta murda
Javanese script - Sa (M).png
Sa murda
Javanese script - Pa (M).png
Pa murda
Javanese script - Nya (M).png
Nya murda
Javanese script - Ga (M).png
Ga murda
Javanese script - Ba (M).png
Ba murda
Pasangan
Pasangan Na (M).png
Na murda
Pasangan Ka (M).png
Ka murda
Pasangan Ta (M).png
Ta murda
Pasangan Sa (M).png
Sa murda
Pasangan Pa (M).png
Pa murda
Pasangan Nya (M).png
Nya murda
Pasangan Ga (M).png
Ga murda
Pasangan Ba (M).png
Ba murda


Huruf Vokal Mandiri (aksara swara)


Aksara swara
Javanese script - A.png
A
Javanese script - E.png
E
Javanese script - I.png
I
Javanese script - O.png
O
Javanese script - U.png
U


Huruf tambahan (aksara rèkan)


Aksara rèkan
Javanese script - Gha.png
Gha
Javanese script - Fa.png
Fa / Va
Javanese script - Kha.png
Kha
Javanese script - Dza.png
Dza
Javanese script - Za.png
Za

Huruf Vokal tidak Mandiri (Sandhangan)

Sandhangan1.png


Tanda-tanda Baca (pratandha)

Pratandha.png


Gaya Penulisan (Style, Gagrag) Aksara Jawa

Berdasarkan Bentuk aksara Penulisan aksara Jawa dibagi menjadi 3 yakni:
  • Ngetumbar
Aj-ngtmbr.png
  • Mbata Sarimbag
Aj-bs.png
  • Mucuk eri


Berdasarkan Daerah Asal Pujangga/Manuskrip, dikenal gaya penulisan aksara Jawa :
  • Jogjakarta
Aj-jogja.png
  • Surakarta
Aj-solo.png
  • Lainnya
Aj-ngtmbr.png


Aturan baku penggunaan hanacaraka

Penggunaan (pengejaan) hanacaraka pertama kali dilokakaryakan pada tahun 1926 untuk menyeragamkan tata cara penulisan menggunakan aksara ini, sejalan dengan makin meningkatnya volume cetakan menggunakan aksara ini, meskipun pada saat yang sama penggunaan huruf arab pegon dan huruf latin bagi teks-teks berbahasa Jawa juga meningkat frekuensinya. Pertemuan pertama ini menghasilkan Wewaton Sriwedari ("Ketetapan Sriwedari"), yang memberi landasan dasar bagi pengejaan tulisan. Nama Sriwedari digunakan karena lokakarya itu berlangsung di Sriwedari, Surakarta. Salah satu perubahan yang penting adalah pengurangan penggunaan taling-tarung bagi bunyi /o/. Alih-alih menuliskan "Ronggawarsita" (bentuk ini banyak dipakai pada naskah-naskah abad ke-19), dengan ejaan baru penulisan menjadi "Ranggawarsita", mengurangi penggunaan taling-tarung.
Modifikasi ejaan baru dilakukan lagi tujuh puluh tahun kemudian, seiring dengan keprihatinan para ahli mengenai turunnya minat generasi baru dalam mempelajari tulisan hanacaraka. Kemudian dikeluarkanlah Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga gubernur (Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur) pada tahun 1996 yang berusaha menyelaraskan tata cara penulisan yang diajarkan di sekolah-sekolah di ketiga provinsi tersebut.
Tonggak perubahan lainnya adalah aturan yang dikeluarkan pada Kongres Basa Jawa III, 15-21 Juli 2001 di Yogyakarta. Perubahan yang dihasilkan kongres ini adalah beberapa penyederhanaan penulisan bentuk-bentuk gabungan (kata dasar + imbuhan).


Perubahan Aksara Pallawa ke Aksara-Aksara Nusantara

Perubahan Aksara Pallawa


Perbandingan aksara Jawa dan aksara Bali

Hanacaraka gaya Jawa, aksara-aksara dasar
Hanacaraka gaya Bali, aksara-aksara dasar
Hanacaraka gaya Jawa, aksara-aksara dasarHanacaraka gaya Bali, aksara-aksara dasar


Penulisan Aksara Jawa dalam Cacarakan Sunda

Cacarakan.png

Ada sedikit perbedaan dalam Cacarakan Sunda dimana aksara "Nya" dituliskan dengan menggunakan aksara "Na" yang mendapat pasangan "Nya". Sedangkan Aksara "Da" dan "Tha" tidak digunakan dalam Cacarakan Sunda. Juga ada penambahan aksara Vokal Mandiri "É" dan "Eu", sandhangan "eu" dan "tolong"


Penggunaan aksara Hanacaraka


Bahasa Jawa dalam huruf Jawa dipakai pada papan nama jalan di Surakarta.
Aksara hanacaraka masih diajarkan di sekolah-sekolah di wilayah berbahasa Jawa sampai sekarang (Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta), sebagai bagian dari muatan lokal dari kelas 3 hingga kelas 5 SD. Walaupun demikian, penggunaannya dalam surat-surat resmi/penting, surat kabar, televisi, media luar ruang, dan sebagainya sangatlah terbatas dan terdesak oleh penggunaan alfabet Latinyang lebih mudah diakses. Beberapa surat kabar dan majalah lokal memiliki kolom menggunakan aksara Jawa. Penguasaan aksara ini dianggap penting untuk mempelajari naskah-naskah lama, tetapi tidak terlihat usaha untuk menggunakannya dalam kegiatan sehari-hari. Usaha-usaha revivalisasi bersifat simbolik dan tidak fungsional, seperti pada penulisan nama jalan atau kampung. Salah satu penghambatnya adalah tidak adanya usaha ke arah pengembangan ortografi/tipografi aksara ini.


Integrasi Hanacaraka ke dalam sistem informasi komputer

Usaha-usaha untuk mengintegrasikan aksara ini ke sistem informasi elektronik telah dilakukan sejak 1983 oleh peneliti dari Universitas Leiden (dipimpin Willem van der Molen). Integrasi ini diperlukan agar setiap anggota aksara Jawa memiliki kode yang khas yang diakui di seluruh dunia.
Jeroen Hellingman mengajukan proposal untuk mendaftarkan aksara ini ke Unicode pada pertengahan tahun 1993 dan Maret 1998. Selanjutnya, Jason Glavy membuat "font" aksara Jawa yang diedarkan secara bebas sejak 2002 dan mengajukan proposal pula ke Unicode. Di Indonesia Yanis cahyono membuat font aksara jawa pada tahun 2001 yang diberi nama aljawi sekaligus software installernya ,hampir bersamaan disusul Ermawan Pratomo membuat hanacaraka font pada tahun 2001, Teguh Budi Sayoga pada tahun 2004 telah pula membuat suatu font aksara Jawa untuk Windows (disebut "Hanacaraka") berdasarkan ANSI. Matthew Arciniega membuat screen font untuk Mac pada tahun 1992 dan ia namakan "Surakarta". Yang terbaru adalah yang digarap oleh Bayu Kusuma Purwanto (2006), yang dapat diekspor ke dalam html.
Baru sejak awal 2005 dilakukan usaha bertahap yang nyata untuk mengintegrasikan aksara Jawa ke dalam Unicode setelah Michael Everson membuat suatu code table sementara untuk didaftarkan. Kelambatan ini terjadi karena kurangnya dukungan dari masyarakat pengguna aksara ini. Baru semenjak masa ini mulai terhimpun dukungan dari masyarakat pengguna. Aksara Jawa Hanacaraka saat ini telah dirilis dalam Unicode versi 5.2 (tergabung dalam Amandemen 6) yang keluar pada tanggal 1 Oktober 2009. Alokasi Memori Aksara Jawa (Javanese) pada Unicode 5.2.0 adalah di alamat heksadesimal A980 sampai dengan A9DF (desimal: 43392–43487).